(Foto:thinkstock)
Jakarta, Pemberian resep obat dari dokter harusnya bermanfaat, aman, risikonya sedikit dan disesuaikan dengan keuangan pasien. Tapi diketahui 50 persen obat yang diberikan dokter baik di rumah sakit maupun puskesmas tidak sesuai atau irasional.
Obat merupakan salah satu kebutuhan esensial manusia terutama jika sedang sakit. Namun masyarakat sebaiknya waspada jika obat yang diresepkan tidak sesuai atau tidak rasional.
"Sekitar 50 persen resep yang diberikan tidak sesuai, hal ini membuat biaya terbuang karena obat yang diberikan tidak efektif," ujar Prof Iwan Dwiprahasto, guru besar Farmakologi UGM dalam acara Workshop Jurnalis Kesehatan di Gedung FISIP UI, Depok, sabtu (26/3/2011).
Prof Iwan menuturkan terkadang dokter memberikan resep obat yang banyak, karena tiap gejala yang timbul diberi obat misalnya gejala yang timbul batuk, pilek, sakit kepala maka diberikan satu obat untuk masing-masing gejala tersebut.
"Tujuan dari peresepan harusnya bermanfaat, aman, terjangkau, risikonya sedikit atau minimal, mengurangi pengeluaran dan juga disesuaikan dengan keuangan pasien atau keluarganya," ujar Prof Iwan dari Bagian Farmakologi dam Terapi/Clinical Epidemiology and Biostatistics Unit FK-UGM/RSUP Dr Sardjito Yogyakarta.
Prof Irwan menjelaskan dalam memberikan resep sebaiknya tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat jenis dosis, tepat cara penggunaan dan lamanya pengobatan, tepat informasi serta tepat dengan kondisi pasien.
Salah satu pemberian resep yang tidak irasional adalah memberikan antibiotik untuk penyakit yang tidak sesuai. Dr Sharad Adhikary selaku perwakilan WHO di Indonesia menyatakan tahun 2005 ditemukan bahwa 50 persen resep di Puskesmas dan rumah sakit di Indonesia mengandung antibiotik.
Sedangkan survei nasional tahun 2009 menemukan bahwa antibiotik yang diresepkan ini untuk penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus seperti diare akut dan selesma (flu), sebenarnya yang tidak membutuhkan antibiotik untuk pengobatannya.
Penggunaan obat yang tidak rasional atau berlebihan ini tentunya meningkatkan biaya layanan kesehatan. Selain itu terkadang pasien tidak diberikan pilihan obat yang akan dikonsumsinya, sehingga ia hanya bisa menerima resep obat apapun yang diberikannya. Misalnya pada beberapa kasus kadang ditemukan lebih dari satu antibiotik dalam resep obat.
"Peresepan obat yang irasional termasuk dalam pemberian indikasi yang tidak jelas, meresepkan obat yang terlalu banyak serta tulisan resep yang kadang bisa disalahartikan," ujar Prof Iwan.
Prof Iwan menuturkan karena itu diperlukan upaya untuk melindungi masyarakat dari risiko penggunaan obat yang keliru, seperti melakukan seleksi obat, memberikan obat generik serta melihat bentuk obat mana yang dibutuhkan oleh pasien.
Obat merupakan salah satu kebutuhan esensial manusia terutama jika sedang sakit. Namun masyarakat sebaiknya waspada jika obat yang diresepkan tidak sesuai atau tidak rasional.
"Sekitar 50 persen resep yang diberikan tidak sesuai, hal ini membuat biaya terbuang karena obat yang diberikan tidak efektif," ujar Prof Iwan Dwiprahasto, guru besar Farmakologi UGM dalam acara Workshop Jurnalis Kesehatan di Gedung FISIP UI, Depok, sabtu (26/3/2011).
Prof Iwan menuturkan terkadang dokter memberikan resep obat yang banyak, karena tiap gejala yang timbul diberi obat misalnya gejala yang timbul batuk, pilek, sakit kepala maka diberikan satu obat untuk masing-masing gejala tersebut.
"Tujuan dari peresepan harusnya bermanfaat, aman, terjangkau, risikonya sedikit atau minimal, mengurangi pengeluaran dan juga disesuaikan dengan keuangan pasien atau keluarganya," ujar Prof Iwan dari Bagian Farmakologi dam Terapi/Clinical Epidemiology and Biostatistics Unit FK-UGM/RSUP Dr Sardjito Yogyakarta.
Prof Irwan menjelaskan dalam memberikan resep sebaiknya tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat jenis dosis, tepat cara penggunaan dan lamanya pengobatan, tepat informasi serta tepat dengan kondisi pasien.
Salah satu pemberian resep yang tidak irasional adalah memberikan antibiotik untuk penyakit yang tidak sesuai. Dr Sharad Adhikary selaku perwakilan WHO di Indonesia menyatakan tahun 2005 ditemukan bahwa 50 persen resep di Puskesmas dan rumah sakit di Indonesia mengandung antibiotik.
Sedangkan survei nasional tahun 2009 menemukan bahwa antibiotik yang diresepkan ini untuk penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus seperti diare akut dan selesma (flu), sebenarnya yang tidak membutuhkan antibiotik untuk pengobatannya.
Penggunaan obat yang tidak rasional atau berlebihan ini tentunya meningkatkan biaya layanan kesehatan. Selain itu terkadang pasien tidak diberikan pilihan obat yang akan dikonsumsinya, sehingga ia hanya bisa menerima resep obat apapun yang diberikannya. Misalnya pada beberapa kasus kadang ditemukan lebih dari satu antibiotik dalam resep obat.
"Peresepan obat yang irasional termasuk dalam pemberian indikasi yang tidak jelas, meresepkan obat yang terlalu banyak serta tulisan resep yang kadang bisa disalahartikan," ujar Prof Iwan.
Prof Iwan menuturkan karena itu diperlukan upaya untuk melindungi masyarakat dari risiko penggunaan obat yang keliru, seperti melakukan seleksi obat, memberikan obat generik serta melihat bentuk obat mana yang dibutuhkan oleh pasien.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar