Adelia terkejut dengan survey yang dilakukan tim kerja dakwah kampusnya terhadap penjualan buku di toko-toko buku islam sekitar kampus. Pasalnya, dalam laporan survey tersebut dilaporkan bahwa novel-novel cinta menduduki peringkat teratas, disusul dengan buku munakahat dan sejenisnya, baru di bawahnya buku-buku kajian, pemikiran, dan pergerakan, tapi persentasenya jauh dibawah novel cinta.
Adelia semakin pening kala teringat begitu meningkatnya jumlah proposal pernikahan, terutama yang diajukan oleh mahasiswa tingkat pertama dan kedua. Bukannya tidak boleh, tapi para pengaju proposal itu dirasa oleh Adelia belum cukup matang untuk menikah, apalagi banyak dari proposal itu ditujukan untuk ikhwan/akhawat tertentu saja. Sementara banyak sekali pekerjaan-pekerjaan da’wah kampus yang menanti, namun semakin sulit menemukan mereka yang berkemauan keras untuk menjalankannya... Fenomena apa ini?
Dikaji dari ilmu psikologi, usia dewasa muda (sekitar 18-27 tahun) adalah usia yang sangat didominasi oleh orientasi tentang dan menuju pernikahan. Ketertarikan pada lawan jenis tak lagi sekadar cinta monyet yang hanya ditujukan untuk bersenang-senang semata, namun sudah memikirkan komitmen yang lebih serius. Bahkan di usia yang lebih matang, orang sudah memiliki profil keluarga impiannya. Jadi, mungkin tidak ada yang aneh pada temuan Adelia.
Tapi di sisi lain, ada potensi besar yang tumbuh di usia dewasa muda. Potensi itu adalah kreativitas! Jangan bayangkan kreativitas sekadar melakukan atau membuat sesuatu yang aneh dan tak biasa. Kreativitas berarti kemampuan untuk mencipta sesuatu yang baru dan bermanfaat. Di usia 30, Thomas Edison menemukan fonograf, Hans Christian Andersen menulis dongeng volume pertamanya, dan Mozart menciptakan The Marriage of Figaro. Sebuah studi tentang kreativitas menemukan bahwa orang menghasilkan karya paling kreatif mereka di usia 30-an dan karya kreatif terpenting mereka dihasilkan sekitar usia 50. Usia ini adalah usia emas untuk berproses menuju pencapaian kreatif. Bayangkan, kalau kita fokus menciptakan sesuatu di usia ini mungkin akan ada banyak sekali ide untuk menyampaikan ajaran islam, mungkin akan banyak lahir ide-ide dan inovasi dalam da’wah.
Selain potensi kreatif, di usia ini manusia tengah memasuki tahap berfikir reflektif dan relativisitik. Di usia ini kita mulai mampu untuk menyelami berbagai perspektif akan suatu masalah. Saat memecahkan masalah, di usia inilah kita dikaruniai kemampuan untuk mempertimbangkan aspek yang abstrak dari masalah itu, dan realitas yang ada. Inilah saat yang terbaik bagi kita untuk belajar memecahkan masalah dan mengambil keputusan akan hal-hal yang lebih kompleks dibanding saat kita masih duduk di bangku SMU. Ragam kegiatan kemahasiswaan dan da’wah menyalurkan potensi dan energi kita itu.
Berlebih-lebihan bukanlah sesuatu yang mulia dalam Islam bukan? Saat ada ketimpangan, bukankah itu saat untuk menengok ke dalam dan ke luar? Fenomena apa yang tengah terjadi? Lalu bagaimana kita mengembalikan keseimbangan?
Maraknya sinetron-sinetron “cinta” yang dibalut nuansa islami, novel-novel romantis, kajian-kajian pernikahan yang fokus pada “bunga-bunga” pernikahan namun bukan pada “kekokohan akar” dan “nutrisi” pernikahan, serta semakin cairnya hubungan ikhwan dan akhwat melalui berbagai media komunikasi bisa jadi merupakan penyebab dari fenomena ini. Sebuah fenomena zaman yang lebih mungkin layak disebut sebagai sebuah euforia akan romantisme.
Ada hal yang perlu kita ingat sebelum jauh terhanyut pernak-pernik romatisme cinta. Tengoklah kehidupan pernikahan orangtua kita, tengoklah dalam keseharian mereka harus mengurus berbagai hal seperti pengelolaan finansial, hubungan sosial, bahkan saat memiliki anak, harus pula dipikirkan visi dan pola pengasuhan yang akan diterapkan, serta banyak hal "teknis" lain. Semua hal itu membutuhkan landasan ilmu dan keimanan yang kuat. Saat sudah berada di dalam pernikahan, itulah saatnya ilmu-ilmu dan pengalaman berislam kita teruji secara teknis.
Betapa tidak, mengelola keuangan haruslah sesuai denga tuntunan agama, berhubungan sosial pun ada norma-norma tertentunya, belum lagi kalau kita mengelola kelompok pengajian atau sejenisnya. Sementara anakpun perlu dididik dengan arah yang jelas. Masa berumah tangga adalah masa mengaplikasikan dan menguatkan ilmu-ilmu keislaman kita, serta masa dimana begitu banyak ujian yang akan membuktikan keimanan kita.
Bukan salah untuk memikirkan kemungkinan untuk menikah. Itu tentu harus disiapkan. Tapi apabila kita terhanyut dalam isu-isu romantis terus dan terus, kapankah kita bisa optimal dalam mengasah potensi kita yang lain, yang sejatinya merupakan bekal penting agar kita menjadi pribadi yang cukup matang untuk masuk ke proses penggenapan separuh agama?
Kita tentu berharap jodoh yang baik, kita berdoa agar segera dipertemukan dengannya dan berusaha untuk meraihnya. Karenanya pastikan kita produktif dalam berfikir dan berkarya di masa dewasa muda kita ini, sehingga siapapun ia yang dipertemukan dengan kita nanti, ia akan bersyukur sekali karena telah dijodohkan dengan kita.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar