Kehidupan Mewah Para Bajak Laut “Perompak” Somalia

Diposting oleh admin on Sabtu, 16 April 2011

Suara di seberang sana terdengar lantang. “Enggak ada info. No comment!” ujar seorang perompak yang dihubungi jaringan media Inggris, BBC. Ali Jamaal, si perompak, sedang cemas menanti uang tebusan yang dijanjikan. Kala itu, dua tahun lalu, Jamaal baru saja membajak kapal berbendera Ukraina, MV Faina, yang mengangkut lebih dari 30 tank milik Angkatan Bersenjata Rusia. Jamaal meminta tebusan US$ 2 juta atau sekitar Rp 18 miliar! “Bajak laut sudah jadi bisnis yang menggiurkan,” kata Direktur Badan Narkoba dan Kriminal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Maria Costa.

Salah satu potret kehidupan kelompok kecil dari bajak laut yang  sempat diabadikan media

Salah satu potret kehidupan kelompok kecil dari bajak laut yang sempat diabadikan media

Tak mengherankan jika mereka hidup serba berkecukupan. “Punya banyak istri cantik, rumah mewah, mobil baru, dan senjata baru,” kata Abdi Farah Juha, seorang warga di Garowe, ibu kota Somalia. Mereka kebanyakan berasal dari Puntland, wilayah di timur laut Somalia.

“Kebanyakan usia mereka 20-35 tahun,” tutur Juha lagi. Tak aneh pula bila mereka jorjoran membelanjakan duit mereka. “Mereka ini pelanggan terbaik,” kata Mohamed Ali Yarow, pemilik pusat busana pria, di Garowe. “Maka banyak cewek cantik yang demen.” Bahkan pernah sekali waktu, kata Yarow, seorang pelacur girang bukan kepalang lantaran diberi duit setara dengan Rp 10 juta. “Makanya banyak gadis bermimpi menikah dengan perompak.”

Bile Mohamoud Qabowsade, penasihat senior Presiden Puntland Adde Muse, pernah mengatakan, “Para perompak itu memang tak populer di kota besar, tapi secara sosial amat berpengaruh di desa-desa.” Banyak pengusaha lokal yang meminjam duit kepada para perompak ini.

Menurut Qabowsade, aksi perompakan marak lantaran banyak pemuda menganggur akibat sulitnya mencari pekerjaan. Menjadi nelayan pun mereka kesulitan. “Mereka kalah bersaing dengan kapal-kapal pukat ilegal,” katanya. Para perompak itu berasal dari tiga kelompok: bekas nelayan, milisi, dan ahli teknologi. Bekas nelayan ini umumnya mengendalikan operasi karena mereka paham wilayah. Sementara itu, bekas milisi biasanya bertugas di garis depan membawa senjata.

Adapun ahli teknologi bekerja mengoperasikan peralatan canggih, seperti telepon satelit, GPS, dan peranti keras militer. “Mereka jarang berkelahi karena masalah duit,” kata Abdulkadil Mohamed, warga Garowe. Karena itu, mereka enggan menyebut diri mereka perompak. “Mereka menyebut

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Search